Gurat Lembayung di Langit Sore.

Seiya Delautrette
4 min readNov 12, 2023

--

“Mungkin aku tidak pernah bilang kepada siapapun, jadi biarkan aku menjadikan kamu orang pertama yang mengetahui ini. Aku suka melihat langit sore menjelang malam.”

Kala itu aku dan kamu menyusuri jalan di kota setelah menghabiskan waktu berkeliling kota bersama — mengunjungi tempat-tempat dalam rencana kita dan melakukan hal-hal yang ingin kita lakukan sejak lama. Hari itu, langit mendukung untuk kita berjalan-jalan sejenak sebelum langit berubah gelap. Tanganmu dan tanganku bertaut, bergenggaman satu sama lain. Tidak kencang sama sekali dan sepanjang perjalanan tangan kita berayun-ayun seperti dua anak kecil yang senang berjalan-jalan bersama.

“Trivia dadakan yang unik,” kamu berceletuk, kekeh halus darimu terdengar setelahnya. “Oke, dan apa alasanmu menyukai langit sore menjelang malam?”

“Warnanya.” Aku menunjuk langit cantik itu. “Ungu violet. Sama seperti namamu.”

Hening menyelimuti sesaat setelah aku mengatakan itu, tetapi aku dapat merasakan genggaman tanganmu mengerat padaku. Aku tidak berani bernapas beberapa saat, sungguh. Takut kamu bereaksi lain, takut aku merusak suasana di antara kita berdua. Aku memberanikan diri untuk melanjutkan penjelasanku.

“Aku menyukaimu seperti aku menyukai langit sore. Bukan hanya langit sore cantik yang kita saksikan sekarang, Sayang. Tetapi langit sore bagaimana pun keadaannya. Cerah atau tidak. Berawan banyak atau sedikit. Sedang didominasi warna abu-abu atau penuh dengan warna-warna indah. Semuanya, semuanya aku suka.”

Saat mendengar itu aku melirik guna melihat air wajahmu. Kamu mungkin tidak mengatakan apa-apa saat itu, tetapi lengkung pada bibirmu jelas terlihat, membuatku jatuh dalam pesonamu semakin dalam.

“ ... Termasuk saat langit sore menumpahkan air hujan menghujam bumi dengan derasnya. Aku juga suka. Indah, mempesona, penuh perasaan. Seperti saat kamu menangis. Aku benar-benar melihat sosokmu seperti melihat langit.” Aku tidak bisa menjelaskan betapa kerasnya detak jantungku saat itu. Telingaku bahkan bisa mendengar jelas bagaimana detak itu menggema di dalam tubuhku. Tanganku berkeringat. Kakiku dingin.

“Dan setelah menangis deras, kamu mengeluarkan aura yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Kamu berbinar cantik. Sama seperti langit yang mengeluarkan cahaya polikromatik setelah dilanda hujan besar, menghiasi langit dengan pelangi yang indah.”

Untuk beberapa saat aku memegangi tanganku sendiri, gugup. Memainkan ujung kemeja yang kukenakan sembari membuang wajahku yang memerah karena melihat ekspresimu. Dengan garis wajahmu yang lembut, helai rambut yang tertiup angin dan terpaan cahaya mentari lembut di sore hari, kamu begitu menawan. Aduh, ralat, kamu memang menawan setiap saat tetapi hari ini, saat ini, detik ini, kamu lebih, aku seperti —

Astaga. Bahkan saat bernarasi pun aku masih salah tingkah membayangkan bagaimana indahnya parasmu sore itu setelah aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya.

Kamu tidak mengatakan sepatah kata pun setelah pengakuanku. Mungkin hanya sebatas “Oh, begituuu.” yang keluar dari bibirmu dengan senyum jenaka terpampang pada wajah jelitamu. Kamu selalu begitu — tersenyum penuh makna, tidak langsung mengungkapkan perasaanmu dan membuatku penasaran setengah mati. Anehnya aku suka itu, aku suka perasaanku kamu porak-porandakan begini. Ralat, aku suka semua tentangmu, sungguh.

Tidak ada lagi percakapan yang kita bicarakan sampai langkah kita berhenti di depan kediamanku. Aku berdiri di hadapanmu, hampir tidak berani menatap langsung. “Terima kasih atas waktumu hari ini,” saat mengatakan itu, aku sudah pasrah bahwa cintaku tertolak — bahwa mungkin ini hari terakhir kita berdua menghabiskan waktu bersama. “Dan hati-hati di jalan.”

Kukira kamu akan berputar balik badan dan berjalan menjauh meninggalkanku. Sebaliknya, kamu berjalan mendekatiku, melingkarkan tanganmu pada leherku. Aku tidak sempat meneliti ekpresi wajahmu. Semuanya terjadi cepat. Bibirmu kautempelkan di atas bibirku dengan lembut tanpa aba-aba. Ciuman itu bahkan tidak seduktif, tetapi mengapa jantungku berdetak kencang? Bahkan bisa dibilang itu bukan ciuman, hanya sebuah kecupan ringan. Kecupan ringan yang sukses membuat kakiku lemas — susah rasanya mempertahankan diriku untuk berdiri tegap. Aku ingin melebur. Aku ingin masuk ke inti bumi terdalam. Aku ingin —

“Admin copywriter-nya sedang libur di kepalaku,” perkataanmu menginterupsi suara-suara yang bersahutan di dalam pikiranku.

“ … ?” Aku menatapnya penuh tanda tanya.

Kini tanganmu membelai pipi kananku, menatapku dengan pandangan teduh. Tidak seteduh itu, sungguh, kamu masih memasang senyuman seribu makna pada bibir. Mungkin kamu tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sentuhan yang kamu berikan, serta gerak ekor matamu, aku tahu sesuatu yang tulus akan keluar dari lisanmu.

“Tapi aku juga menyukaimu. Sangat amat menyukaimu sejak hari itu.” Jemari lentikmu menyingkirkan anak rambut yang jatuh pada wajahku. Jemari yang menyentuh wajahku itu seakan sedang mengapresiasi sebuah karya indah, sungguh, jangan perlakukan aku seperti ini, aku —

“Dan untuk sekarang, kamu tidak perlu menunggu untuk dicium.”

Seperti langit lembayung di sore hari, kamu indah dan misterius dalam waktu yang bersamaan. Dan aku suka sifatmu yang begitu. Kubalas kecupan yang mendarat pada bibirku tadi dengan lembut lalu kutarik wajahku untuk menatapmu, dan kita tertawa setelahnya.

--

--

Seiya Delautrette
Seiya Delautrette

Written by Seiya Delautrette

Une écrivaine amateuse. Writing for my own satisfaction, just call it my online diary.

No responses yet